Rabu, 12 November 2008

Nenek Pengamen di Samping Kampus


Wajahnya yang sudah keriput tampak begitu polos. Setiap mengamen dia selalu menebar senyum yang lebar, dan ketika itu nampak giginya sudah banyak yang rusak. Rambutnya sudah memutih dan diikat konde begitu rapi. Kadang dia membawa gitar kecil, kadang kala juga membawa rebab. Mahasiswa atau siapa saja yang sering makan di deretan jajanan samping Kampus I Untar pasti tak asing lagi dengan nenek yang berumur 76 tahun ini.

“Selamat siang, Tuan-tuan dan Nona-nona sekalian! Saya mohon keikhlasannya untuk saya. Saya menyanyi untuk menghibur tuan-tuan dan nona-nona. Semoga bisa melekat di hati….” Suaranya mendayu-dayu seperti sinden. Nenek itu mulai memainkan gitar kecilnya.

Sepenggal lantunan lagu berbahasa Jawa keluar dari pita suaranya, agak serak. Selesai bernyanyi, satu persatu orang di Kantin 88 merogoh koceknya untuk nenek itu. Aku juga yang sudah selesai makan di sana, memberinya 500 perak.

“Terima kasih atas keikhlasannya. Semoga tuan-tuan dan nona-nona sehat selalu. Kuliahnya lancar, cita-citanya tercapai, bisa jadi orang sukses, dan rejeki ne lancar…” ujar sang nenek sambil menyengir.

Aku mengikutinya keluar. Aku berjalan di belakangnya dan mengamatinya. Dia melangkah perlahan-lahan lalu duduk di teras tempat fotocopy yang teduh. Sesekali dia mengibas-kibas selendang yang melilit di lehernya. Mungkin dia kepanasan. Terkadang dia mengelap keringat yang mengucur di keningnya dengan selendang itu. Aku menghampirinya. Dia mengamatiku sambil tersenyum.

“Permisi, Nek…! Boleh ngobrol-ngobrol sebentar?”

“Boleh…, boleh…” balasnya sambil tersenyum lagi. Sepertinya senyumnya tak pernah pudar.

Aku menyalaminya, lalu duduk di sebelahnya, lagi-lagi dia tersenyum lebar. Giginya kehitam-kehitaman, sebagian sudah tanggal. Namun, tak mengurangi ketulusan senyumannya.

“Siapa nama nenek?”

“Nih…, ada KTP-nya, Tuan!”

Aku malah bingung. Dia tidak menyebut namanya ketika ditanya. Dia mengambil sesuatu dari kemben-nya. Sebuah bungkusan kain kecil berwarna merah yang rapi dibukanya. Ada sebuah fotocopy KTP di dalamnya lalu dia menunjukannya padaku. Aku mengambilnya.

“Ini fotocopynya, yang aslinya ada di rumah.”

“Oh…, nama Nenek Budi Rahayu?”

Dia masih tersenyum.

Aku mengira nenek ini tidak tahu namanya sendiri. Tapi apakah mungkin demikian? Ataukah dia hanya mau pamer KTP-nya? Mungkin saja dia mengira aku petugas kependudukan dengan setelan kemeja rapi ini? Akh, nggak ngerti!

Nenek bercerita dalam 1 hari dia bisa dapat 30.000 dari mengamen di tempat-tempat makan di Kampus Untar dan Trisakti.

“Kalau hujan, bisa 15,000.”

“Anak nenek kerja. Tapi, saya pengen aja ngamen, cari duit sendiri selagi bisa. Bisanya cuma nyanyi.” Nenek tertawa kecil.

Anak nenek ada 5, cucunya ada 13. Ketika ditanya kerja anaknya apa, dia tidak bercerita tentang ke-5 anaknya, hanya menceritakan seorang saja.

“Anak saya tukang kecapi, kadang juga bikin rebab, gendang, pokoknya alat-alat musik gitu.”

Betapa semangatnya nenek ketika bercerita tentang cucunya. Dia tahu pendidikan ketigabelas cucunya.

“Cucu nenek ada yang masih sekolah, ada yang sudah kerja. Paling kecil masih TK, ada yang masih SD, 2 di SMA…, eeeeghhh….” Nenek mencoba mengingat sesuatu sambil melihat ke langit.

“Di SMEA juga ada…, apa itu namanya, sekolah dandanin mesin itu, loh? Ehmm…, STM!” nenek tersenyum lebar.

“Waktu ke Jakarta dulu, nenek masih muda. Tahun berapa ya? Sudah lupa saya. Pasar Senen waktu itu belum ada….” Nenek asalnya dari Desa Kramat Waringan, Solo.

Aturan saya dimadu sama bapak. Ndak seneng, saya pergi ke Jakarta. Anak-anak ikut saya. Ndak lama gitu, si bapak nyusul ke Jakarta. Ya, karena belum dicerai, bapak balik lagi sama saya, terus tinggal di Jakarta. Sekarang bapak udah ndak ada lagi.” Cerita nenek panjang lebar seputar kehidupan keluarganya. Bapak di sini yang dimaksud adalah suaminya.

“Uang ngamen ndak saya makan sendiri. Kadang buat bantu anak dan cucu, buat bantu sedikit-sedikit, beli buku sekolahan, gitu…”

Di akhir obrolan, saya pamit sama nenek.

“Saya doain, Tuan, sehat selalu. Banyak rejeki…, cepet lulusnya, dapat kerjaan yang bagus. Kalau dokter, jadi dokter yang sukses.”

Saya mengangguk-angguk sembari mengiya-iyakan saja. Amin…. Kataku dalam hati. Doa dari seorang yang sudah tua katanya manjur. Aku berharap begitu, tetapi aku tidak berharap menjadi dokter yang sukses.

Lagu Laskar Pelangi-nya Nidji terlantun di telingaku…

“Cinta kepada hidup

Memberikan senyuman abadi

Walau hidup kadang tak adil,

Tapi cinta lengkapi kita…

Menarilah dan terus tertawa

Walau dunia tak seindah surga…”

Aku selalu mengamati pengemis-pengemis tua renta yang ada sekitar Citraland. Dibandingkan dengan mereka, aku lebih simpati pada nenek yang bernama Budi Rahayu. Senyumannya selalu menghangatkan. Ketulusannya tergambar dari guratan-guratan di sekitar bibirnya yang melengkung manis. Garis keriput di wajahnya tersirat suatu bentuk perjuangan hidup.

By: Suwito, Fikom Untar.

Tidak ada komentar:

kata Sang Bijak

Mengenai Saya

Foto saya
Penulis adalah seorang reporter humanitarian di Da Ai TV.