Kamis, 02 Oktober 2008

Di Dunia Ini Hanya Mama yang Terbaik

Muntok, sebuah kota kecil di Pulau Bangka tempat di mana aku dilahirkan dan dibesarkan. Aku dibesarkan di sebuah keluarga sederhana. Saat ini aku memiliki seorang ayah, seorang ibu dan dua orang adik perempuan. Aku adalah satu-satunya anak laki-laki dan anak sulung dalam keluargaku. Adikku yang paling bungsu masih duduk di kelas 4 SD, sedangkan yang ke dua duduk di kelas 2 SMA Jurusan Ilmu Sosial. Aku berpikir bahwa aku lah buah harapan dan tulang punggung keluargaku nantinya.

Papa dan mama, begitulah aku memanggil ayah dan ibuku. Papa hanya seorang montir mobil di sebuah bengkel milik keluarga. Beliau dan pamanku memimpin bengkel tersebut. Penghasilan papa tidak menentu. Bahkan ada suatu hari tak ada sama sekali pelanggan.

Di samping sebagai ibu rumah tangga, mama juga ikut membantu ekonomi keluarga. Sewaktu aku duduk di bangku SD, mama membantu mencari penghasilan dengan menjuah pakaian keliling di sekitar tempat aku tinggal. Mama begitu jerih payah mencari uang. Demi anak-anaknya. Agar anak-anaknya bisa melanjutkan sekolah. Agar bisa hidup lebih layak lagi.

Seorang teman mama pernah bercerita tentang hidup mama dulu. Begitu pahitnya. Mama anak pertama dari dua bersaudara. Sejak mama kecil, ayahnya sudah meninggal. Mama berjuang menghidupi keluarganya. Saat itu juga nenek saya sedang sakit-sakitan. Masa remaja mama pun diisi dengan perjuangan menghidupi keluarga. Mama terpaksa harus putus sekolah. Setelah lulus SD, mama tidak bisa melanjutkan sekolah lagi karena himpitan ekonomi dan keadaan yang memaksa mama harus bekerja. Mama berjuang mencari uang dengan berjualan sayur-sayuran dan menjadi seorang shop keeper di sebuah toko pakaian. Bahkan sebelum menikah mama pernah bekerja pada orang kaya, membantu pekerjaan rumah. Pekerjaan apa itu?

Saat bekerja di sana mama ikut membantu majikan membuat kue. Kebetulan majikannya adalah seorang pembuat kue profesional yang sangat terkenal di daerahku. Majikannya baik sekali. Beliau mengajarkan banyak hal kepada mama. Mama mendapat banyak masukan dan pelajaran.

Setelah berumah tangga hidup mama belum sepenuhnya bahagia. Selama menjadi menantu, mama mendapat banyak cercaan dari nenek dan kakek. Setiap melakukan kesalahan, pasti dimarahi kakek dan nenek. Namun mama tetap tegar dan patuh kepada mertuanya.

Sekarang mama dengan modal ketrampilan yang didapatnya ikut membantu perekonomian keluarga. Beliau dikenal sebagai pembuat kue hias di kota. Banyak ibu-ibu yang mengenal beliau. Dari istri para pejabat sampai orang-orang biasa. Ada juga remaja-remaja putri kursus membuat kue kepada mama. Pesanannya lumayan ramai. Kadang-kadang aku juga ikut membantu mama, membantu mencicipi dan mengomentari. Ekonomi pun membaik. Hingga aku bisa melanjutkan SMA ke jenjang yang lebih tinggi berkat kerja keras dan semangat papa dan mama.

Saat awal perkuliahan di Untar, aku jatuh sakit. Aku terkena thypus. Aku diopname di rumah sakit. Satu minggu setelah aku pulang ke rumah, penyakitku kambuh lagi. Mama jauh-jauh dari Bangka datang ke Jakarta untuk merawatku. Dalam lubuk hatiku, aku merasa bersalah kepada mama. Mengapa aku sampai tidak bisa menjaga badanku sendiri? Aku pernah mendengar seseorang berkata bahwa di saat kita sakit, hati orang tua begitu gundah, terutama seorang ibu. Aku elah menyusahkan mama. Namun di sisi lain aku begitu merasakan kehangatan mama.

Selama di rumah sakit, mama selalu di sampingku. Tidur pun di sampingku. Saat aku terbangun, kupandangi wajah mama. Mulai ada guratan-guratan keriput di wajah mama, seolah mengisyaratkan garis-garis perjuangan pahit getirnya hidup. Saat mama terbangun kupandangi kedua matanya. Seolah ada kabut di matanya, mengajarkanku pelajaran hidup yang berarti. Langkah-langkahnya mengajarkanku semangat hidup yang luar biasa.

Setelah dokter menyatakan aku boleh pulang, kondisi badanku masih lemah. Mama begitu cemas padaku. Mama pun menyarankan aku untuk sementara berhenti kuliah selama 1 semester. Mama memintaku untuk istirahat di Bangka agar beliau bisa memantau kondisiku secara langsung. Mama begitu memperhatikanku. Aku pun memutuskan untuk mundur kuliah dan istirahat selama 1 semester.

Aku merasakan betapa susahnya hidup mama, betapa besarnya perjuangan hidup mama dan betapa dalamnya kasih mama. Aku berjanji akan membahagiakan mama walau tak sebesar mama membahagiakanku. Aku berjanji akan membalas budi mama walau budi dan kasihnya tak terbalaskan. Di setiap doaku, aku berharap mama selalu sehat, mama selalu bahagia, mama selalu semangat. Mama, di dunia ini hanya Mama yang terbaik.

Suwito

1 komentar:

dave_zlywgn mengatakan...

emmm..hai Suwito...

blog na banyak bercerita tentang mama , kangen, dan tionghoa...

bagaimana dengan cintamu???

mengapa tidak kau ceritakan pengalaman cintamu yg menggugah hati banyak org...hehe...


ku tunggu blog lu selanjutnya..


semoga sukses...
salam jurnalis sastrawi..

kata Sang Bijak

Mengenai Saya

Foto saya
Penulis adalah seorang reporter humanitarian di Da Ai TV.