Selasa, 30 September 2008

BULAN TUJUH PUN SAYU



Tiga hari sebelum peringatan proklamasi kemerdekaan RI yang ke-63, orang Tionghoa yang beragama Budha dan Kongfucu di Kota Muntok,kota kecil di Pulau Bangka, juga memperingati ritual adat mereka. Asap-asap hio menggepul dari sebuah kelenteng di sudut kota itu. Bau harumnya sampai ke rumah-rumah di dekat kelenteng. Perayaan ini hanya ada setahun sekali, tepatnya setiap tanggal 15 bulan 7 pada kalender imlek. Orang Tionghoa Bangka menyebutnya Chit Nyet Pan (bulan 7 setengah). Kalau di kampung-kampung disebut Chiong Si Ku (sembahyang rebut).

Mereka percaya bahwa pada bulan ini pintu neraka dibuka lebar-lebar. Arwah- arwah di neraka turun ke bumi. Tepat pada hari ini pintu neraka ditutup pada tengah malam. Hari ini kesempatan terakhir mereka bergentanyangan di dunia. Manusia di dunia harus menyiapkan persembahan untuk menjamu para arwah. Jejeran hasil bumi dan makanan berupa beras, mie, kue, sirup, tebu, dan lain sebagainya sudah tersusun rapi di atas 2 rak bertingkat dengan tinggi sekitar 5 meter. Hasil bumi inilah dipersembahkan untuk menjamu mereka dan akan diperebutkan di tengah malam nanti. Makanya, ritual ini dikenal dengan sembahyang rebut.

Sebuah boneka raksasa terbuat dari kertas berdiri gagah di halaman kelenteng. Raksasa ini menggambarkan sosok raja hantu dalam mitologi orang Tionghoa. Thai Se Ja, begitulah mereka menyebutnya. Tampak menyeramkan, giginya bertaring, matanya merah besar, kulitnya bersisik berwarna-warni, sehingga membuat anak kecil yang melihatnya takut, bahkan tak mau melihatnya lagi. Sementara, di depannya ada jejeran persembahan makanan, diantaranya babi dan kambing yang masih utuh bentuknya, diwarnai merah dan berminyak, lidah Thai Se Ja yang menjuntai panjang seolah ingin menjilatnya. Sosok Thai Se Ja menggambarkan sifat buruk manusia yang serakah dan tamak. Sementara di sekitarnya ada juga patung manusia berkepala sapi dan kuda (niu thew na mien) yang menjaga neraka, pencabut nyawa si hitam dan si putih, para hakim neraka, dan sebagainya yang menjadi tokoh mitologi umat Tionghoa. Mereka menggambarkan sosok petugas-petugas neraka. Patung-patung yang terbuat dari kertas ini tidak akan digunakan lagi untuk perayaan tahun berikutnya karena akan dibakar tepat di tengah malam nanti.

Lim Cien Hung keluar ke beranda lantai atas rumahnya sekaligus toko orangtuanya yang ada di lantai bawah. Dia melihat langit sore di pelabuhan kota itu. Matahari mulai lelah berpijar dan kembali ke peraduannya. Sesekali dia menutup hidungnya, bau tak sedap dari pasar ikan di depan rumahnya begitu menyengat. Dia pun masuk ke dalam lalu menutup pintu agar bau amis dari pasar ikan tak tercium dari dalam.

Lim Cien Hung lebih akrab dipanggil Hung Hung, nama Indonesianya Defri Salim. Orang-orang muda Tionghoa di sini umumnya memiliki 2 nama, satu nama Tionghoa dan satu nama Indonesia. Kebanyakan mengambil nama-nama orang Jawa, seperti Suwito, Sugiarto, Harmoko, dan lain-lain. Ada juga nama-nama orang barat. Nama-nama itu hanya formalitas saja, dengan harapan mudah dalam pengurusan di sekolah, kerja di kantor pemerintahan dan swasta, atau pegurusan KTP dan SIM. Dengan nama Tionghoa biasanya agak dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan urusan birokrasi. Terlebih saat rezim orde baru.

Dalam 1 bulan ini Hung Hung menikmati libur semester dari kampusnya. Tapi, sebenarnya dia sudah masuk kuliah minggu ini. Hung Hung kuliah di Universitas Tarumanagara Jakarta, Jurusan Design Grafis. Tak seperti anak muda Tionghoa di kota itu yang umumnya memilih bekerja di penambangan timah, atau berdagang barang-barang cellular di konter. Kota Muntok sudah penuh dengan konter-konter HP di sepanjang jalannya. Hung Hung sengaja bolos kuliah 1 minggu demi mengikuti perayaan sembahyang rebut di sana. Sudah 2 tahun dia tidak pernah lagi melihat perayaan ini di kota kelahirannya. Memang perayaan ini selalu ditunggu-tunggu sejumlah orang Tionghoa di kota itu.

Selesai makan malam, Hung Hung bersama teman-teman lamanya semasa di Muntok beranjak pergi menuju kelenteng. Mereka memang sudah berencana untuk ke sana bersama-sama. Umumnya, memang banyak anak muda di saat itu. Keramaian seperti ini menjadi kesempatan untuk bercengkrama bagi mereka.

Hung Hung membayangkan perayaan ini begitu ramai seperti tahun-tahun yang lalu. Terbayang olehnya bahwa betapa sulitnya mereka mendapat tempat parkir di Terminal Muntok Lama, tepat di depan kelenteng tua itu. Biasanya jam 7 malam, tempat parkir sudah penuh jika ada perayaan sembahyang rebut ini. Kemudian dia mengingat betapa padatnya pintu gerbang masuk kelenteng pada perayaan 2 tahun yang lalu. Dia sudah mengeluh kepada teman-temannya dari tadi atas dugaannya. Dia begitu khawatir nantinya mereka tidak bisa mendapat tempat parkir lagi.

Bulan purnama bersinar di tengah teduhnya malam. Setiap tanggal 15 imlek memang selalu begitu, kita bisa melihat bulan purnama pada malam hari. Jarak menuju kelenteng sangat dekat dari rumah mereka, sehingga tak sampai 5 menit dengan sepeda motor mereka sudah tiba di depan kelenteng tua yang megah itu.

Ketika sampai di tempat parkir, Hung Hung terlihat merasa aneh. Aneh, mengapa tempat parkir terlihat tidak penuh seperti dulu. Aneh, mengapa suasana tidak seramai dulu. Baginya, ini benar-benar aneh. Dia semakin merasa aneh, ketika masuk pintu gerbang tidak perlu mengantre panjang dengan bejubel orang untuk masuk. Dia semakin aneh lagi ketika sudah ada di halaman kelenteng yang tampak wajah-wajah tua, anak muda yang datang untuk merayakan ritual ini hanya beberapa orang saja. Tak seperti dulu, perayaan begitu meriah. Anak-anak kecil, para anak muda, orang tua bahkan yang sudah lanjut usia berkumpul di kelenteng ini, sejak dulu, sejak kelenteng ini pertama kali dibangun pada tahun 1880 oleh para leluhur mereka yang datang ke Pulau Bangka untuk menjadi kuli tambang timah.

“Kemana anak-anak muda Tionghoa di Muntok? Apakah sudah tidak tertarik lagi dengan ritual kuno seperti ini?” tanya Hung-Hung dengan logat Bangka yang masih kental.

Teman-temanya hanya diam, saling bertatapan, tak ada komentar. Mereka tahu temannya itu begitu kritis dan sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Hanya selang dua tahun, terasa perbedaan suasana Chit Nyet Pan. Hung Hung begitu paham tentang adat istiadat, setiap ritual, dan budaya tradisional orang Tionghoa di Bangka yang mungkin sudah dilupakan oleh orang-orang satu generasi dengannya di kota itu.

“Lihat, orang-orang semua membakar hio, memohon banyak hal, meminta kekayaan, kesehatan dan panjang umur. Juga ada yang menunggu persembahan di 2 rak itu untuk berebut makanan… Sebenarnya, mereka tidak mengerti makna sesungguhnya ritual ini.”

Aku sepakat dengan Hung Hung, teman baik ku yang religiusitas itu. Sebenarnya, di saat ini lah kita merasakan penderitaan arwah-arwah gentayangan, betapa mereka tersiksa di sana. Apakah leluhur kita salah satunya? Bukan saatnya kita terlalu menuntut materi dan berebut makanan saja. Berderma dan memupuk kebajikan untuk dilimpahkan kepada leluhur dan arwah yang menderita adalah yang paling penting. Intropeksi diri, apa saja dosa kita dan jangan sampai pada saatnya tersiksa seperti arwah di neraka.

Sayangnya, banyak yang tidak mengerti. Bahkan, para anak muda kurang tertarik pada ritual ini apalagi untuk mengerti maknanya. Apakah nantinya ritual yang begitu sarat makna dan mempesona ini akan tenggelam ditelan jaman? Hanya karena generasi-generasi selanjutnya terlanjur berkiblat ke kehidupan modern secara mentah-mentah?

Tidak ada komentar:

kata Sang Bijak

Mengenai Saya

Foto saya
Penulis adalah seorang reporter humanitarian di Da Ai TV.