Selasa, 08 Maret 2011

Dari Dulu Hingga Sekarang, Hidup dalam Kerukunan

Teman-teman, masih ingat Kepulauan Bangka Belitung kan? Itu,loh, provinsi yang dijadikan lokasi Film Laskar Pelangi. Selain dikenal dengan timah dan lada putihnya, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga menyimpan warisan sejarah yang menarik,loh! Kamu bisa menemukan banyak bangunan tua yang menyimpan sejarah di Bangka Belitung, dari sebelum jaman Penjajahan Belanda sampai masa mempertahankan kemerdekaan. Nah, salah satu kota di Bangka Belitung yang memiliki banyak bangunan tua bersejarah adalah Kota Muntok. Tak hanya itu, Kota Muntok dikenal sebagai kota kerukunan antar umat beragama.

Kota Muntok adalah Ibu Kota Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kota Muntok dibangun sebagai kota pelabuhan sejak 1700-an. Kota tertua di Bangka Belitung ini dibangun bersama-sama oleh suku Melayu dan etnis Tionghoa.

Sebagai pusat perekonomian dan keresidenan, Kota Mentok berkembang sebagai kota yang modern. Perkembangan kota sangat khas kolonial, salah satunya ditandai dengan pembagian kampung. Pada tahun 1850, seorang Kolonel Hindia Belanda, De Lange, memuji perkampungan Tionghoa yang ada di Kota Muntok sebagai yang terhebat di Hindia.

Suku Melayu dan Etnis Tionghoa sama-sama pendatang di Pulau Bangka. Mereka didatangkan oleh Kesultanan Palembang dan Pemerintahan Kolonial Belanda untuk mengolah kekayaan timah di pulau itu. Dua suku ini hidup sama-sama membangun Kota Mentok sebagai pusat keresidenan sekaligus pusat pertambangan timah pada waktu itu. Mereka menjadi 2 kelompok etnis yang tersebar di seluruh Bangka Belitung. Walaupun hidup sama-sama dengan latar belakang yang berbeda, keduanya hidup rukun dan saling membantu,loh.

Kelenteng Kung Fuk Miaw adalah kelenteng tertua di Bangka Belitung yang dibangun di Kota Muntok. Umurnya sudah mencapai 3 abad. Kelenteng ini dibangun oleh masyarakat Tionghoa pada tahun 1790.Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1873 dibangunlah Masjid Jami’ di sebelah Kelenteng Kung Fuk Miaw. Kelenteng dan masjid hanya dipisahkan oleh jalan selebar 5 meter. Pembangunan masjid pada waktu itu juga dibantu oleh masyarakat etnis Tionghoa nonmuslim. Mayor Cina yang pada saat itu memimpin pertambangan timah di Bangka juga ikut menyumbang batu pualam untuk pembangunan masjid. Yang merancang bangunan pun juga seorang arsitek keturunan Tionghoa. Pada tahun 2010 yang lalu kedua bangunan bersejarah ini dijadikan sebagai benda cagar budaya yang dilindungi oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Kelenteng Kung Fuk Miaw dan Masjid Jami’ menjadi simbol kerukunan umat beragama. Walaupun bertetangga, mereka tetap akur satu sama lain dan saling menghormati hingga saat ini. Malah mereka saling membantu. Wah, indahnya sebuah kerukunan! Walau berbeda agama dan suku, kita bisa tetap berteman, saling menghormati, dan tetap saling membantu. Bahkan dengan kerukunan yang mereka jalani, sama-sama bisa membangun daerah mereka. Seandainya semua penduduk dunia bisa begini, tidak ada lagi yang namanya perang suku dan agama. (suwito)

Tidak ada komentar:

kata Sang Bijak

Mengenai Saya

Foto saya
Penulis adalah seorang reporter humanitarian di Da Ai TV.